Liputan5news.com - Di tengah upaya Indonesia mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua, Sekolah Dasar (SD) Inklusi menjadi garda terdepan dalam memastikan hak belajar anak-anak, termasuk penyandang disabilitas. Namun, tantangan terbesar bukan hanya pada aksesibilitas fisik, melainkan pada kesiapan guru menghadapi keragaman kebutuhan siswa. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023 menunjukkan, hanya 45% sekolah inklusi di Indonesia yang telah menerapkan strategi pembelajaran adaptif. Padahal, pembelajaran berdiferensiasi merupakan metode yang mengakomodasi keunikan setiap siswa dan bisa menjadi solusi transformatif.
Pembelajaran Berdiferensiasi: Bukan Sekadar Metode, Tapi Gerakan Pedagogis
Berbeda dengan model klasik yang menyeragamkan materi, pembelajaran
berdiferensiasi menekankan personalisasi. Carol Ann Tomlinson, pakar pendidikan
dari AS, mendefinisikannya sebagai “respon proaktif guru terhadap kebutuhan
belajar siswa melalui penyesuaian konten, proses, dan produk.” Di SD Inklusi,
pendekatan ini tidak hanya untuk siswa disabilitas, tetapi juga untuk anak
berbakat, siswa lambat belajar, atau mereka yang berasal dari latar belakang
sosial berbeda.
Kunci utamanya adalah:
1. Identifikasi Kebutuhan melalui Asesmen Autentik: Misalnya, guru di SD Inklusi Harapan Bangsa, Lombok, menggunakan portofolio harian untuk memetakan kemajuan siswa, termasuk rekaman video interaksi dan karya seni.
2. Desain Pembelajaran Fleksibel: Materi disajikan dalam multi-format—visual, audio, kinestetik—dan disesuaikan dengan kecepatan belajar individu.
Mengapa
Ini Relevan dengan Konteks Indonesia?
Indonesia memiliki lebih dari 30 juta siswa SD, dengan 1,6 juta di antaranya
menyandang disabilitas (BPS, 2023). Namun, sistem pendidikan kita masih
terjebak dalam paradigma “one-size-fits-all”. Pembelajaran berdiferensiasi
menjawab masalah ini dengan:
· Mengurangi Angka Putus Sekolah: Di Kabupaten Sumba Timur, penerapan differentiated learning berhasil menurunkan angka drop-out siswa disabilitas sebesar 40% dalam dua tahun.
· Mengakselerasi Capaian Kurikulum Merdeka: Dengan tugas berjenjang, siswa bisa mencapai kompetensi minimal tanpa merasa tertekan, sementara anak berbakat diberi tantangan ekstra.
Strategi Inovatif yang Belum Terungkap
1. Kolaborasi dengan Komunitas Lokal
SD Inklusi Taman Kasih di Yogyakarta melibatkan seniman dan pengrajin lokal
untuk mengajar keterampilan praktis. Siswa tunagrahita belajar membuat
kerajinan kayu, sementara siswa autis diajak bereksperimen dengan lukisan
abstrak. Pendekatan ini tidak hanya mengasah kemampuan motorik, tetapi juga
membuka peluang ekonomi masa depan.
2. Teknologi Rendah Budget dengan Dampak Tinggi
Guru di SD Inklusi Pulau Rote, NTT, memanfaatkan aplikasi bebras
Indonesia yang bisa diakses offline via smartphone bekas. Aplikasi
ini menyediakan permainan matematika dengan level berbeda, sehingga siswa bisa
belajar sesuai kemampuan tanpa perlu internet.
3. Proyek Kolaboratif Lintas Kelas
Di Bandung, siswa reguler dan disabilitas di SD Inklusi Cendekia bersama-sama
merancang “Kampung Literasi”. Mereka membangun perpustakaan mini dengan buku
braille, audiobook, dan komik edukatif. Proyek ini melatih empati,
kepemimpinan, dan kreativitas sekaligus.
Tantangan Unik di Indonesia dan Solusi Kreatif
· Keterbatasan Alat Peraga: Guru di daerah terpencil seringkali berinovasi dengan bahan alam. Contoh: Guru SD Inklusi Halmahera menggunakan biji-bijian dan daun kering untuk mengajarkan operasi matematika pada siswa tunanetra.
· Mitigasi Stigma di Masyarakat: Banyak orang tua khawatir anak “normal” terganggu jika belajar bersama disabilitas. SD Inklusi Bina Anak Sholeh di Malang mengadakan open class bulanan, mengundang orang tua melihat langsung bagaimana pembelajaran berdiferensiasi justru meningkatkan sikap toleransi anak.
Kisah Inspiratif: Dari Papua hingga Aceh
· Guru Martina di Pegunungan Papua: Dengan modal kertas bekas dan krayon, ia merancang flashcard bergambar hewan endemik Papua untuk siswa disleksia. Metode ini diadopsi Kemendikbudristek menjadi modul nasional.
· Siswa Tunarungu Menjuarai Lomba Pidato: Di Aceh, seorang siswa tunarungu asal SD Inklusi Baiturrahman berhasil menjadi juara lomba pidato tingkat provinsi menggunakan bahasa isyarat dan bantuan teks visual.
Dukungan
Kebijakan yang Dibutuhkan
Agar pembelajaran berdiferensiasi bisa diimplementasi secara masif, diperlukan:
1. Pelatihan Guru Berkelanjutan: Tidak hanya teori, tetapi praktik lapangan di sekolah inklusi percontohan.
2. Insentif bagi Sekolah Inklusi: Bantuan operasional khusus untuk pengadaan alat teknologi asistif.
3. Kurikulum yang Lebih Fleksibel: Mengurangi beban administratif guru agar fokus pada observasi siswa.
Pendidikan Inklusi sebagai
Cermin Kemajuan Bangsa
Pembelajaran berdiferensiasi bukan sekadar teknik mengajar, tapi bukti nyata
komitmen Indonesia terhadap keadilan sosial dalam pendidikan. Setiap anak,
dengan segala keunikannya, berhak merasakan pembelajaran yang memanusiakan.
Kisah-kisah inspiratif dari pelosok negeri membuktikan bahwa dengan kreativitas
dan kolaborasi, keterbatasan sarana bukan penghalang. Saatnya kita bergerak
bersama: pemerintah, guru, orang tua, dan masyarakat, untuk menjadikan sekolah
inklusi sebagai norma, bukan pengecualian. (Red/Faridatul Jannah).
Penulis :
Faridahtul Jannah
Mahasiswa S3 Pendidikan Dasar
Universitas Negeri Surabaya