Update Terbaru

6/recent/ticker-posts

Perjuangkan Hak Atas Tanah Warga Korban Surat Ijo Surabaya, FASIS Menggelar Pertemuan Bersama Warga


Liputan5news.com - Surabaya. Untuk memperjuangkan hak atas tanah warga korban surat ijo Surabaya, Forum Analisis Surabaya (FASIS) menggelar pertemuan bersama warga Pucang Anom, Barata Jaya, Ngagel Wasana dan sekitarnya. Sabtu (4/5/2024).


Pertemuan warga bersama FASIS berharap bisa memberikan harapan baru terkait perjuangan dalam mendapatkan Hak Atas Tanah, tercantum Pasal 9 ayat 2 Undang undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria. "Pengakuan" Negara atas "Hak Asasi" pribadi warga negara untuk memperoleh "hak atas tanah".


Dalam pertemuan tersebut terjadi diskusi FASIS dan Warga terkait Pendaftaran Hak Atas Tanah sesuai SK. Sesuai pasal 2 ayat 3 undang undang nomor 5 tahun 1960 "dalam kerangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, Negara memberikan kesempatan bagi warga Negara Indonesia untuk memperoleh Hak Atas Tanah diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra / Pemerintah Daerah untuk di kelola, yang di istilahkan dengan hak atas tanah di atas hak pengelolaan (HGB diatas HPL) atas Tanah Negara. Dimana warga berkedudukan sebagai pemilik bangunan yang ada hak atas tanah nya di atas Hak Pengelolaan Pemerintah Daerah.


Dalam keterangannya kepada awak media Ketua Umum FASIS, Saleh Alhasni menyampaikan kami dari FASIS Surabaya hari ini menggelar jumpa Pers terkait kedatangan Dirjen penanganan sengketa dan konflik, kementrian ATR BPN bpk Ilyas Tejo. Kemarin kepada bpk Ilyas Tejo kami menanyakan kepada bpk Ilyas Tejo pada waktu acara di UBAYA, apakah surat ijo ini merupakan sengketa terhadap warganya. Beliau menjawab bahwa itu bukan sengketa tanah, anda bisa langsung ke pemerintah kota. Saya bilang Pak, pemerintah kota sudah kami surati. Pada waktu itu sudah kami lakukan permohonan, yang kami lakukan rekomendasi nanti akan diatur dengan Perda yang baru. Sementara Perda yang baru Nomor 7 Tahun 3023 itu tidak sesuai dengan SK Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dimiliki artinya izin dari negara yang diperoleh oleh pemerintah kota itu tidak sesuai dengan isi yang ada dalam Perda No 7 Tahun 2003. Sehingga kami mempertanyakan juga kemarin pada saat itu kepada kepala Bakesda di Bu Yayuk, dia mengatakan bahwa kajian akademis yang dilakukan terhadap Perda itu apakah ada muatan dari SK HPL ini. Faktanya tidak ada yang ada malah Diktum ke 6 yang ada. Sehingga kami tanda petik bahwa Perda itu dibuat dengan naskah akademis yang substansi dari SK HPL tidak ada yang termuat dalam perda. Sehingga pengaturan dalam Perda tersebut tidak sesuai dengan SK nya. Sehingga kami menolak keras artinya Perda tersebut tidak sesuai dengan keberadaan SK itu sendiri. Apa lagi Perda itu adalah Perda pajak dan restribusi pajak daerah, bukan Perda tentang persetujuan pemberian HGB di atas HPL jadi tidak sesuai dengan muatannya. Sehingga kami jadi bingung kenapa jadi seperti ini, kalau ingin menyelesaikan warga nya yaa sesuaikan dengan yang baik. 


"Kalau memang seperti ini maka jalan satu - satunya kami adalah akan melaporkan kembali kepada Omnibuslaw sebagai penyelenggara administrasi pengawas administrasi daerah agar tidak terjadi Maladministrasi lagi yang selama ini kita biarkan. Kalau kita diserang agar melakukan gugatan maka kami akan gandeng orang Omnibuslaw karena tanah mereka ada di lokasi surat ijo, untuk membuktikan bahwa apa benar yang mereka katakan sengketa atau bukan. Selama ini kita ingin mendapatkan surat mereka selalu menolak dengan alasan seperti itu faktanya itu hanya maladministrasi bukan sengketa," jelasnya. 


Masih kata Saleh sehingga kalau pemerintah kota betul betul punya etikad baik dengan warganya yaa tolonglah jalankan SK itu agar hubungan hukum kami terhadap SK yang dimiliki oleh pemerintah kota dan sertifikat HPL bidang tanah bisa dituangkan kepada kami menjadi sertifikat HGB diatas HPL per persil bukan bidang.


"Surat hijau ini terdapat di 36 kelurahan dan 18 kecamatan mereka bergabung di FASIS mereka semua adalah korban surat hijau. Kalau selama ini dibiarkan maka 804 hektar hanya dibuat permainan, kenapa kalau sertifikat bidang tanah itu tidak sampai kepada kami persil - persilnya. Artinya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) itu menjadi tertidur di pemerintah kota tidak bisa dimanfaatkan oleh warga. Warga ingin mendapatkan hak atas tanah, warga tidak butuh ijin pemakaian tanah. Yang kami butuhkan hak atas tanah," tegasnya. 


Sementara itu penasehat hukum dari FASIS, Sara Serena, S.H., M.H. menyampaikan teman teman selama ini berjuang melawan pemerintah kota Surabaya untuk mendapat hak atas tanah tidak asal - asalan. Kami melakukan kajian kajian hukum dari dokumen yang kami peroleh dari berbagai sumber. Dan kami menemukan beberapa banyak fakta - fakta hukum yang dimanipulasi selama ini oleh Pemerintah Kota Surabaya. Termasuk persoalan HGB diatas HPL ini adalah isu lama karena sudah ada SK HPL sejak tahun 1997 tapi warga baru mengetahui tahun 2020 pada saat pak Saleh mengajukan gugatan ke komisi informasi. Itu baru ketahuan setelah sekian puluh tahun lamanya. Jadi ketika sekarang pemerintah kota bergaung memberi solusi lewat HGB diatas HPL berarti anda manipulatif karena itu sudah ada sejak dahulu ini berarti ingin mencari keuntungan di balik penderitaan warga.

 

"Pemerintah kota Surabaya setelah masuknya FASIS mereka merasa agak lebih takut, lebih berhati - hati, mendapat pengawasan dari BPK terkait BPHTB dan minta penjagaan kepada pengacara negara," tambah Sara. 


Masih kata Sara seperti masalah BPHTB itu menurut aturannya Undang - Undang Nomor 28 tahun 2009 dan Undang - Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang restribusi daerah dan hubungan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah itu bea peroleh hak atas tanah dan bangunan kalau jual belinya beralihan hak atas tanah dan bangunan. Sedangkan ini statusnya teman-teman hanya izin atau penyewa. Surat - surat dikuasai oleh pemerintah kota Surabaya, hak- hak atas tanah tidak diberikan kepada warga. Seharusnya kami diberi hak atas tanah. 


"Selama ini warga kalau jual beli bangunan hanya mempunyai surat ijin penggunaan tanah itu tidak bisa dijadikan dasar hukum jual beli bangunan. Di situlah kami lihat adanya penyimpangan hukum," tegas Sara.  


"Selama ini yang terjadi transaksi di notaris atau PPAT pemerintah kota Surabaya tidak berani menunjukan sertifikat HPL. Jadi dia hanya membuat surat saja tapi tidak pernah menunjukan sertifikat HPL nomor sekian dalam transaksi jual beli. Sehingga ketika dilakukan transaksi kelanjutan jual beli tidak mungkin bisa terjadi dan berhenti di Notaris. Sehingga uang BPHTB yang dibayarkan oleh warga kita tidak tahu pos nya ada di mana ?," tambah saleh.


Saleh menegas kami meminta kepada pemerintah kota, pertama kembalikan kepada warga terkait restribusi surat ijo yang sudah dibayarkan oleh warga. Kedua BPHTB yang sudah dibayarkan oleh warga tolong dikembalikan kepada warga termasuk kembalikan PPH nya sebesar 2,5 persen yang sudah dibayarkan oleh penjual - penjualnya. Ketiga berikan kami atas tanah yang benar yang ada hubungannya dengan warga.


Masih di tempat yang sama, Mas Jon selaku pengawas dari FASIS menegaskan tujuan kami di sini bersama dengan warga adalah untuk mendaftarkan hak atas tanah sesuai undang undang pokok agraria.

Posting Komentar

0 Komentar