Liputan5News Probolinggo - Pengerukan tanah di desa Patalan Kecamatan Wonomerto Kabupaten Probolinggo terus disoal. Pasalnya, aktivitas pengerukan tanah tersebut diduga mencakup sebagian aset milik negara, yaitu berupa kawasan hutan di bawah pengelolahan KPH Probolinggo yang beralih menjadi IPHPS ( Ijin Pengelolahan Hutan Perhutanan Sosial ).
Untuk sekedar diketahui IPHPS adalah Akses legal pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat. Sebuah program nasional yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi.
Pengelolahan hutan dimaksud adalah sebagai bentuk pemanfaatan hutan seperti penanaman komoditas yang memiliki nilai lebih, seperti kopi, nilam, atsiri, kepayang, kayu manis dan sebagainya, sesuai potensi daerah masing-masing
Menurut Indra Agustiana
Wakil Adm KSKPH Probolinggo, lahan yang kini jadi lokasi pengerukan di desa Patalan itu dulu masuk dalam pengelolahan KPH Probolinggo, namun sejak tahun 2017 sudah menjadi bagian dari IPHPS.
"Dulu memang iya masuk kawasan pengelolahan KPH Probolinggo, namun sejak tahun 2017 ketika Presiden melakukan kunjungan di Probolinggo, ada beberapa kawasan pengelolahan KPH Probolinggo menjadi IPHPS, yaitu Gading I, Gading II, dan terkahir Boto, yang sekarang jadi objek galian C" kata Indra ditemui ruangan kerjanya, Senin (27/12).
Indra menjelaskan, SK IPHPS bisa dicabut jika dikemudian hari dalam pengelolahan lahan tersebut ditemukan indikasi salah kelolah.
"Ketika sudah beralih ke IPHPS, sepenuhnya menjadi tanggung jawab warga yang menerima ijin tersebut, termasuk pembayaran PBB nya juga mereka, tapi ijin bisa ditarik jika dikemudian hari ditemukan ada penyalagunaan dalam kelola lahan, tapi itu kewenangan Provinsi Jawa Timur" jelas Indra.
Dalam keterangannya Indra menyarankan, agar menanyakan aktivitas pengerukan tanah tersebut pada Gerakan Nusantara Hijau (GNH), menurutnya sejauh ini mereka (GNH) yang lebih memahami permasalahan itu.
"Coba koordinasi dengan GNH, mereka yang lebih memahami". Lanjutnya.
Sugio, ketua GNH Probolinggo memberikan tanggapan, aktivitas pengerukan tanah di desa Patalan menurutnya bukan aktifitas tambang tanah uruk atau galian C, melainkan pengambilan tras.
Untuk tambahan, pengertian tras dalam devinisi wikipedia adalah batuan lunak atau lapisan tanah yang berasal dari abu gunung api. Tras biasa berwarna putih kumal sampai cokelat muda. Tras biasa digunakan dalam campuran semen dan pasir untuk mengeraskan campuran itu.
"Itu bukan tambang atau galian C, tapi pengambilan tras, dengan tujuan lahan yang menjadi lokasi pengerukan kelak akan mejandi lahan lebih produktif " kata Sugio saat ditemui, Senin (27/12).
"Kita sebagai sosial kontrol dan Itu sebagian kawasan IPHPS, namun lahan yang dikelolahkan ke warga tersebut bukan lahan subur atau produktif. Jadi kami menawarkan solusi ke warga agar diambil trasnya, dan mereka setuju" kata pria yang akrab dipanggil gio ini.
Gio menjelaskan, usai pengerukan lahan akan direklamasi kembali dengan tanah merah dan pupuk yang diambil dari sisa produksi pabrik penggilingan gula ( blotong).
"Setelah pengerukan, nanti akan direklamasi kembali dengan tanah merah dan blotong, kita sudah kerja sama dengan pabrik gula ( PG) Wonolangan". Ucapnya.
Disinggung apakah aktivitas pengerukan tanah tersebut sudah Mengetahui pihak pemerintah Provinsi Jawa Timur selaku otoritas, Ia menjawab belum.
"belum, mungkin nanti kita sampaikan".
Sementara itu ketua LSM GMPK Solehuddin mengatakan kurang sependapat dengan argument GNH, pengerukkan tanah di wilayah aset milik negara tidak bisa dibenarkan.
"Jika memang lahan IPHPS dinilai tidak produktif, kan bisa diusulkan untuk perubahan kordinat, bukan memakai inisiatif sendiri dengan melakukan pengerukan seperti itu, aturannya apa seperti itu ?". ucap Soleh.
Beberapa contoh Ia sampaikan tentang pemanfaatan aset negara yang berujung pada pidana, menurut pria aktif di pergerakan itu, memanfaatkan aset negara tidak gampang, terlebih menyangkut pertambangan.
"Hal serupa pernah terjadi pada salah satu rekan usaha tambang, ketika lahan yang akan menjadi lokasi tambangnya melintas di lahan milik perhutani, kordinatnya langsung dibelokkan". Kata Soleh.
"Juga peristiwa di Pasuruan beberapa waktu lalu, seorang pejabat desa dipidana hanya karena menjual tanah urukan yang diambil dari tanah inventaris desa ( tanah bengkok ), artinya apa, aset negara itu benar-benar dilindungi, jangankan dikeruk, pohonya saja ditebang bisa pidana" jelasnya.
Disinggung tentang keterlibatan KPH Probolinggo dalam pengerukan tanah di kawasan hutan tersebut, Soleh enggan menjelaskan lebih jauh, namun menurutnya hal itu sudah menjadi kajian lembaga yang dipimpinya.
"Aktivitas ini sudah berlangsung lama, menurut saya jika KPH tidak tahu, maka bukan pengawas yang baik, tapi jika mereka mengetahui, lantas membiarkan, itu lebih aneh lagi" pungkasnya. (Tim/Kmr).
0 Komentar