Liputan5News Probolinggo - Mengulas Operasi Tangkap Tangan (OTT) bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya anggota DPR RI Hasan Aminudin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) beberapa hari lalu masih cukup menarik diulas.
Kasus yang ditengarai karena empuknya kursi jabatan kepala desa itu tidak hanya merontokkan kredibilitas, juga mengantarkan 22 orang pejabat di lingkup pemerintah kabupaten Probolinggo, termasuk bupati dan suaminya ke jeruji besi.
Menjadi pertanyaan banyak orang, kenapa hanya karena kasus jabatan sekelas kepala desa bisa merusak tatanan kekuasaan yang hampir 20 tahun dibangun oleh keluarga Hasan Aminudin ?
Bukankah perkara yang lebih besar dari lawan politiknya pernah Hasan hadapi ?
Misalnya di tahun 2007, ketua Komisi A DPRD kabupaten Probolinggo yang kala itu dijabat alm. Jumanto melaporkan Hasan Aminudin yang sebagai bupati, terkait dugaan korupsi pembagunan Gedung Islamic Center dan wisata bentar di kabupaten Probolinggo, Hasan Aminudin tetap kokoh hingga akhir jabatan.
Bahkan saking kuatnya pengaruh Hasan Aminudin di kabupaten Probolinggo, sebagian orang mendapuknya dengan sebutan King Hasan.
Diduga hampir semua kebijakan politik di lingkup pemerintah kabupaten Probolinggo berafiliasi denganya, penunjukkan pelaksana tugas ( plt.) Kepala desa yang berujung petaka adalah sala satu bukti siapa King Maker sebenarnya.
Antara percaya dan tidak percaya ketika melihat seseorang yang dinilai hampir mustahil untuk dilawan di kabupaten Probolinggo itu, tampil di layar televisi berpakaian rompi warna oranye dengan kedua tangan diborgol sebagai tersangka dugaan kasus korupsi.
Lantas, bagaimana hanya karena jabatan plt. kepala desa semua yang dibangun menjadi berantakan ?
Apa yang menjadi pemicu untuk sebuah kepala desa mempunyai harga ?
Seorang kepala desa, selain sebagai pengelolah anggaran bersumber dari ADD dan DD yang nilainya milyaran rupiah, juga memiliki hak mengelola Tanah Kas Desa (TKD) atau biasa disebut tanah bengkok.
Selain kepala desa, pembantu kepala desa (perangkat desa) juga memiliki hak mengelola tanah bengkok, namun luasan tanah yang dikelola antara kepala desa dan perangkatnya berbeda.
Dari sinilah semua berawal !
Perlu diketahui, saat ini di kabupaten Probolinggo banyak posisi jabatan perangkat desa yang kosong.
Bahkan mencapai tiga sampai empat perangkat yang kosong di setiap desa, di situlah sala satu poin kenapa jabatan kepala desa menjadi potensi untuk direbut.
Polemik kosongnya perangkat desa diduga sebagai cara baru meningkatkan pendapatan desa.
Entah itu pendapatan desa atau pendapatan kepala desa ? kita tidak pernah tau. Karena sampai saat ini, peruntukan hasil dari tanah bengkok milik perangkat yang kosong tersebut terus jadi pertanyaan banyak orang.
Contoh, sebut saja desa A. Inventaris tanah bengkok untuk kepala desa di desa A misalnya seluas 6 hektar, sedangkan untuk perangkat desa 2 hektar.
Di desa A sudah hampir 6 tahun ada 4 posisi perangkat desa yang kosong dan 1 posisi sekdes (sekretaris desa), sebagian dari mereka pensiun, sebagian mutasi, maka kepala desa A berpotensi mengelola tanah bengkok sebanyak 14 hektar di tambah inventaris milik sekdes yang kosong.
Jika harga sewa pertahun setiap hektarnya 20 juta, dikalikan 14 hektar 280 juta per tahun, dikalikan selama menjabat 6 tahun, belum termasuk milik Sekdes yang luasnya hampir sama dengan milik kepala desa, cukup menggiurkan bukan ?
Hasil pengumpulan bahan keterangan, diduga kuat, angka 20 jt bukan berasal dari kantong calon plt. Kepala desa, melainkan dari pemilik kepentingan guna mengamankan asetnya.
Hal itu didasari dari beberapa temuan, dengan menggunakan pilihan kata "PJ ORANG SAYA" sebagian tanah bengkok di beberapa desa mulai diajukan perpanjangan masa sewa dengan rekanan, padahal secara administrasi, diperkirakan sepuluh hari pertama di bulan September 2021 adalah batas terakhir sang raja kecil mengelola aset milik desa.
Hal senada dikatakan ketua DPRD kabupaten Probolinggo periode 2019-2024, Oka Mahendra Jati Kusuma.
Dalam keterangan di acara live sala satu stasiun televisi nasional, Selasa (31/8) Oka menyampaikan, tanah bengkok salah satu pemicu posisi Plt. Kepala desa menarik untuk dijabat.
"Gaji kepala desa tidak lah seberapa, namun di desa itu ada tanah bengkok yang nilainya cukup besar dikelolah oleh pemerintah desa" jawab Oka saat ditanya presenter tentang besaran gaji kepala desa.
Polemik kosongnya perangkat desa beserta inventaris tanah bengkoknya memang kerap jadi materi obrolan berbagai kalangan. Bahkan sejumlah lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) pernah menyoal sala satu desa terkait peruntukan tanah kas desa tersebut, namun kabar itu tak pernah berlanjut.
Kurang tepat jika menilai jabatan kepala desa hanya profesi biasa, karena pada kenyataanya, jabatan yang kerap disebut dengan kata raja kecil itu mampu merubah strata sosial pemangkunya. (Gus)
0 Komentar