Menangkap Peluang Ditengah Bencana Pandemi Covid-19
Pandemi Covid - 19 harus dimaknai secara positif, terutama oleh seluruh stakeholders tanah air. Ya, wabah penyakit Korona yang sedang melanda dunia ini sudah seharusnya dijadikan sebagai momentum "titik balik" Indonesia sebagai Negara Agraris dengan menjadikan pertanian sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Memang dikatakan titik balik, karena sudah waktunya sistem ekonomi negara direvitalisasikan, dengan kembali ke gagasan besar yang pernah disuarakan oleh founding father Indonesia, Ir Soekarno, 68 tahun lalu, bahwa jantung ekonomi Indonesia itu adalah pertanian dengan petani sebagai penyangga tatanan negara Indonesia.
Selaras dengan Soekarno, Alvin Toffler, seorang futurlog asal Amerika Serikat membagi perkembangan peradaban manusia menjadi tiga gelombang besar, masing-masing masyarakat Agraris berbasis pertanian, masyarakat industri serta yang terakhir adalah masyarakat informasi. Tapi, melihat fakta empiris yang terjadi, sepertinya masyarakat Agraris yang lebih kuat untuk melewati masa masa sulit ditengah pandemi ini.
Itu tidak lain, karena masalah pangan adalah kebutuhan primer yang tidak bisa tergantikan dengan apapun, apalagi sampai tergantung kepada masa panen negara lain. Rencana BULOG Indonesia menjadikan Sagu sebagai cadangan pangan tanah air setelah stok beras nasional sangat terbatas akibat kesulitan impor dari negara-negara pemasok adalah bukti bahwa sistem pangan nasional kita belum mandiri terutama di tengah pandemi Covid-19.
Nah, untuk memaksimalkan revitalisasi penguatan pangan tanah air ini, langkah berani sudah seharusnya ditempuh oleh pemerintah dengan prioritas dana besar untuk proyek pembangunan lahan pertanian di seluruh pelosok tanah air. Bahkan, anggaran ratusan triliun rupiah untuk membangun ibukota baru di dataran Kalimantan Timur, boleh saja ditunda, dan dialihkan untuk proyek pembangunan pangan nasional tersebut.
Program Sejuta Sawa yang pernah menjadi program unggulan Dahlan Iskan, menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga bisa menjadi alternatif solusi, tentu dengan sedikit improvisasi dari pemerintahan Joko Widodo saat ini, tentu berbasis kultur serta karakter tanah masing - masing daerah.
Belum cukup disitu, dibutuhkan langkah berani lain dari pemerintah, yaitu melakukan "embargo diri" dengan menutup semua sektor impor bahan pangan dari luar negeri yang saat ini tak terkendali. Alasan barang impor jauh lebih berkualitas dan harga sangat murah hanya pandangan instan sekaligus membunuh petani lokal sekaligus menciptakan ketergantungan pangan ke negara lain.
Sejatinya, gerakan revitalisasi proyek pangan nasional ini sudah mulai digalakan, hanya saja masih perorangan. Seperti yang dilakukan oleh Tuasikal Abdullah, salah satu senator asal Maluku yang memilih pulang kampung selama masa pandemi Covid-19 menyerang. Puluhan hektar lahan miliknya di Kota Masohi, Maluku Tengah yang sudah lama tertidur, di sulap olehnya untuk lahan pertanian.
Untuk hasil panen yang maksimal, Abdullah memilih mengawinkan dua konsep gelombang masyarakat Agraris dan Industri seperti yang didengungkan oleh Alvin Toffler di atas. Ya, dia membeli sejumlah alat berat dan dibantu oleh beberapa petani, puluhan hektar tanah berhasil ditaklukan dalam waktu beberapa hari saja.
Hasilnya, dalam waktu singkat, ratusan ribu bibit ubi jalar sudah disemaikan. Dia sengaja memilih ubi jalar sebagai tanaman unggulan dalam proyek pertanian kilatnya tersebut. Selain karena cara perawatan yang tidak begitu rumit, masa panen tidak berlangsung lama. Hanya butuh waktu tiga bulan.
Istimewanya, seluruh hasil panen tersebut rencananya akan disumbangkan ke rakyat kecil dan mereka yang ekonominya terdampak di masa pandemi ini. Abdullah sedang membangun gudang pangan mandiri untuk rakyat. Mantan Bupati Maluku Tengah selama dua periode ini, memang sudah lama resah perihal urusan perut banyak orang. Apa yang sudah dicontohkan oleh Abdullah, harus menular.
Karena, untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis pangan, satu Abdullah saja tidak cukup. Negara butuh banyak Abdullah yang lain. Oleh karena itu, di titik ini, negara sudah waktunya hadir, dekat dengan rakyat dan menjadikan pertanian sebagai lahan kerja baru yang masif. Tentu, dilengkapi dengan teknologi moderen serta tenaga ahli pendamping yang berkualitas. (Oleh Basa Alim Tualeka, Ketua KADIN-Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Jawa Timur dan juga Dosen Pasca Sarjana Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)
0 Komentar